06/02/11

Petani Renta Mimpi Bangun Masjid

Meski sudah seratus tahun usianya, tapi semangat Haji Ubak sebagai petani tak pernah luntur. Hanya satu keinginannya, melihat masjid di kampungnya  direnovasi.  Mungkinkah? 

Matahari baru saja memjulurkan sinarnya menerobos celah-celah perkampungan Nyalindung, di kaki Gunung Gede, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Udara pagi nan dingin terasa menusuk kulit. Beberapa penduduk setempat nampak bergegas pergi ke sawah untuk memulai aktivitasnya.

Lalu, dari sebuah rumah kecil yang terbuat dari anyaman bambu, keluar sesosok lelaki tua mengenakan topi ‘koboi’ dan berkacamata. Tubuhnya kurus dan mungil dibalut pakaian ala kadarnya. Di pundak sebelah kiri terpanggul sebuah cangkul. Sedangkan di pundak kanannya tergantung tas ransel berwarna coklat tua. Sambil memegang tongkat kayu dan tanpa beralaskan kaki, ia berjalan menyusuri jalanan batu sepanjang 300 meter yang menghubungkannya ke sebuah areal persawahan. 
H. Ubak
H. Ubak

Laki-laki itu bernama Badrudin. Masyarakat sekitar lebih suka memanggilnya Haji Ubak. Usianya sudah 100 tahun. Walau usianya yang telah renta, ia tetap giat dan rajin mengayunkan cangkul di sawah. Baginya, tak ada pekerjaan lain selain menggarap sawah. “Sehari-hari ya mencangkul sawah. Tidak apa-apa bekerja begini,”katanya kepada saya. Ia terus berjalan menuruni tanjakan yang cukup curam, dan sesekali ia harus melompat parit.  
Terkadang masyarakat disini menyebutnya Haji Batu, karena batu inilah tempat dia beristrirahat sebelum membajak sawahnya di pagi hari
Walaupun usia sudah 100 tahun lebih, tetapi semangat bekerja tak terasa mengenal umurnya
Lahan berbatu sangat sulit untuk dibajak, tetapi ibadah ekerja tak surut untuk mengais rezeki dimasa sisa umurnya
Sesampainya di areal persawahan yang kanan kirinya dikelilingi pegunungan, Haji Ubak lalu menunjuk dua petak sawah miliknya.  Luasnya tak lebih dari 1500 m2. Dua petak sawah itu letaknya bersebelahan, berada diatas sungai yang mengalir tepat di tengah-tengah areal persawahan. Belum ada tanaman padi tumbuh di situ, yang terhampar hanya genangan lumpur yang siap dicangkul. 
Tongkat selalu menuntun kemana ia melangkah
Di sudut sebelah kiri lahan itu berdiri sebuah gubuk kecil beratapkan jerami. Di tengahnya terdapat satu dipan terbuat dari batang bambu. Di situlah Haji Ubak biasa beristirahat untuk sembahyang dan makan siang. Di dipan bambu itu pula ia meletakkan tas dan tongkatnya sebelum menjejakkan kakinya di sawah.

Sambil mencangkul, ia lalu bercerita bahwa dari dua petak sawah yang dahulu dibelinya seharga Rp 120,- itu menghasilkan kurang lebih empat kwintal beras sekali panen. Namun ayah dari enam anak dan kakek dari seratus cucu dan cicit ini mengaku hasil panen padinya tidak pernah cukup untuk menghidupi keluarganya. “Hasil panen tidak cekap untuk dimaken,”ujarnya dengan logat  Sunda.

Bekerja menjadi petani sudah dilakoni Haji Ubak sejak 1980-an. Awalnya, ia adalah seorang tukang kayu. Uang hasil kerjanya ia kumpulkan sedikit demi sedikit hingga akhirnya bisa membangun rumah. Sisanya ia belikan beberapa petak sawah. Lambat laun, karena tenaganya makin berkurang, ia berpindah haluan menjadi petani. “Sudah lama berhenti menjadi tukang kayu karena sudah tidak kuat,”ungkapnya mengenang.

Meski hanya petani gurem, tapi tak menyurutkan niatnya untuk menunaikan ibadah haji. Maka pada 1982, jebolan pesantren dari Kampung Warung Bawang, Desa Ciberum, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur ini menjual salah satu petak sawahnya seharga Rp 1,5 juta untuk pergi ke menunaikan rukun Islam ke lima tersebut.

Istirahat Siang
Menjelang tengah hari, Haji Ubak menghentikan kegiatannya untuk istirahat siang. Ia mencopot topi ‘koboi’-nya dan membersihkan tubuhnya di pancuran air yang mengaliri sawahnya. Lalu ia duduk di atas dipan bambu sambil mengeluarkan isi tasnya satu per satu. Dari dalam tak coklat tua yang telah usang itu ia mengeluarkan sehelai sarung bermotif garis kotak-kotak warna merah muda. Ia pun menunaikan ibadah sholat lohor.
Tak pernah ada kegelisahan dalam hidupnya, dengan bertani semua mencukupinya
Melangkah pulang
Selesai sembahyang, Haji Ubak membuka bungkusan plastik warna hitam berisi bekal makan siang. Dia tampak sangat menikmati makanan yang dimasak oleh Enung, istrinya, meski hanya nasi dan lauk ikan teri. Usai makan, Haji Ubak, mengemasi barang-barang bawaannya, dan bersiap-siap pulang ke rumah.

Tak banyak kata diucapkan sesepuh di Kampung Nyalindung ini. Ia kembali menyusuri pematang sawah yang pagi tadi dilaluinya. Meski tubuhnya kurus dan mungil, tapi terlihat masih kuat. Tak ada tanda-tanda kelelahan memancar di wajahnya. Ia terus berjalan, mendaki tanjakan terjal berbatuan. Sesekali ia berpapasan dengan penduduk sekampungnya yang akan turun ke sawah. Mereka menyapa Haji Ubak dengan ramah.

Ingin Merenovasi Masjid
Begitu tiba di rumah, Haji Ubak tak langsung masuk, setelah lebih meletakkan barang bawaannya di depan pintu. Tanpa istirahat, ia langsung mengambil air wudlu di sebuah bilik di samping rumahnya. Setelah itu, mengganti pakaiannya dengan sarung dan baju koko serta mengenakan kopiah, ia berjalan menuju masjid yang tak jauh dari rumahnya. 
Telah mempunyai seratus cucu dan cicit
Sang istri selalu beroa untuk suami
Melangkahkan kaki menuju masjidnya
Di masjid inilah Haji Ubak menjalankan shalat lima waktu. Meski kondisi bangunan masjid sudah rusak, tapi Haji Ubak tampak khusuk beribadah. Menurut masyarakat setempat, Haji Ubak sudah lama punya keinginan memperbaiki masjid yang dibangun sejak 1945. Masjid berukuran 12 x 8 meter itu kondisinya memang sangat mengenaskan. Hampir semua atapnya jebol. Dindingnya pun sudah mengelupas, dan nampak kusam. Beberapa genteng dibiarkan tergeletak jatuh disamping masjid.
Selalu berdoa dan sholat di masjidnya

Suasana masjid hasil mengumpulkan uang
Padahal, masjid itu satu-satunya tempat beribadah warga kampung Nyalindung. Sejak dibangun, masjid itu baru sekali diperbaiki. Warga setempat sudah mengusahakan  meminta bantuan perbaikan masjid ke sana ke mari. Namun hingga kini hasilnya nihil. “Atos rusak mesjidnya (masjidnya sudah rusak). Kedah disiarkan (mohon disiarkan). Kedah dibangun dei (harus dibangun lagi),” demikian permintaan Haji Ubak. Lalu, dengan bertopang tongkat, ia pun kembali pulang ke rumah untuk beristirahat. 


Dia selalu melihat masjidnya yang kian lama kian rusak

naskah dan foto-foto : Mustafa Kemal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar